Fimosis Penyakit “Burung” Anak

Well.. Semangat Pagi semuanya.

Kali ini Kami ingin bercerita tentang pengalaman dari orang terdekat. Satu tahun yang lalu, salah seorang kerabat mengeluhkan kondisi anak keduanya yang mengalami kesakitan saat buang air kecil. Si anak rewel hingga menangis kesakitan ketika buang air kecil. Saat itu si anak berumur dua tahun.

Orang tua dari anak tersebut memiliki inisiatif untuk mengkonsultasikan kepada temannya yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah. Singkat cerita, dokter bedah tersebut berasumsi bahwa si anak mengalami tanda gejala dari penyakit yang dikenal dengan nama Fimosis. Sang dokter juga menyarankan agar si anak berhenti menggunakan pampers atau diapers, dan memberikan resep salep atau krim kortikosteroid.

Setelah mendapat saran dari sang dokter, orang tua si anak mulai melatih anaknya untuk tidak menggunakan pampers atau diapers, dan juga mulai melatih anak toilet training. Berjalannya waktu, si anak mulai ceria kembali. Dia sudah tidak mengeluh kesakitan ketika buang air kecil. Namun, satu minggu setelah ulang tahun yang ketiga, si anak kembali mengeluhkan sakit saat buang air kecil. Kejadian tersebut mebuat sang orangtua bergegas bertindak. Mereka berkonsultasi dan memeriksakan kembali kondisi si anak kepada dokter yang sama. Hasil dari konsultasi tersebut adalah si anak akan di sirkumsisi atau sunat. Dari cerita ini, kami coba berbagi informasi terkait fimosis.

Fimosis merupakan kelainan pada penis yang belum disunat berupa preputium atau kulup atau kulit kepala penis yang melekat erat pada kepala penis, sehingga kulup tidak dapat ditarik kebelakang, dan mengakibatkan glans penis tidak dapat terlihat. Secara fisiologis, fimosis akan dianggap wajar ketika terjadi pada waktu bayi.

Fakta ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh I Hy Chan dan rekan (dalam Common urological problems in children: prepuce, phimosis, and buried penis) yaitu hampir semua bayi laki-laki dilahirkan dengan kulup yang tidak bisa ditarik. Dengan kata lain, fimosis fisiologi merupakan keadaan dari sekitar 90% bayi baru lahir akibat adhesi alami antara preputium (kulup) dan glans penis.

Umumnya kulup akan dapat ditarik sejalan dengan pertumnbuhan anak. Olehsebab itu fimosis sebetulnya dapat sembuh sendiri. Namun ketika fimosis mengganggu proses buang air kecil atau hingga menimbulkan infeksi, maka harus ada tindakan perbaikan seperti pemberian antibiotik hingga tindakan sirkumsisi atau sunat saat masih balita. Fimosis dapat didiagnosa secara klinis, dan tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium juga radiologi.

Fimosis juga bisa timbul saat laki-laki memasuki waktu pubertas, yaitu dikenal dengan fimosis sekunder atau balanitis xerotica obliterans.

balanitis xerotica obliterans

Menurut Meuli dan rekan (dalam jurnal milik Sukhbir Kaur Shahid) , terdapat tingkat keparahan pada fimosis anak maupun dewasa, yaitu :

  • Tingkat 1, kulup dapat ditarik sepenuhnya dengan cincin stenotik di batangnya (gambar D),
  • Tingkat 2, kulup dapat ditarik kebelakang sebagian dengan eksposure parsial pada glans (gambar C),
  • Tingkat 3, kulup dapat ditarik kebelakang sebagian dari eksposure pada meatus saja (gambar B), &
  • Tingkat 4, kulup tidak dapat ditarik (gambar A).

Fimosis pada anak memiliki gejala yang khas tentunya, yaitu kulup tidak dapat ditarik kebelakang. Tanda gejala lainnya antara lain perubahan warna pada kelenjar penis atau kulup penis, adanya ruam, nyeri, gatal, dan bengkak. Menurut I Hy Chan dan rekan, kesalahan orangtua ketika mendengar penyakit fimosis anak adalah hanya tentang kulup yang tidak dapat ditarik kebelakang. Fakta menariknya adalah orangtua sering lalai terkait kebersihan penis si anak. Ketika kita mengetahui terdapat gejala lain maka orangtua harus memperhatikan kebersihan dari penis (khususnya bagian preputium atau kulup atau kulit kepala penis) agar tidak terjadi “mutiara putih” dan “balon”.

mutiara putih
balon

Penanganan fimosis anak adalah dengan menggunakan strategi watchful waiting (meyakinkan orang tua bahwa kondisi tersebut normal sesuai kelompok usia anak). Jika menilik dari cerita diatas, dokter bedah hanya menyarankan orang tua untuk melepas penggunaan pampers atau diapers dan memberikan resep salep atau krim kortikosteroid. Ini dilakukan karena dokter bedah tersebut melakukan strategi watchful waiting. Lalu kenapa pada cerita si anak harus ditangani dengan sirkumsisi?. Hal ini dikarenakan kondisi fimosis yang cenderung berkembang menjadi fimosis patologis, dan pada tingkat keparahan 3 (kulup dapat ditarik kebelakang sebagian dari eksposure pada meatus saja) ke 4 (kulup tidak dapat ditarik).

Sumber : I Hy Chan et al. (2016). Common urological problems in children: prepuce, phimosis, and buried penis. Hong Kong Med J, 22 (3), 263-269.

Sukhbir Kaur Shahid (2012). Phimosis in Children, International Scholarly Research Network (ISRN Urology), 2012 (707329), 1-6.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top